Sabtu, 03 Mei 2014

LAPORAN KULTUR JARINGAN


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur  saya panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena atas berkat rahmatnya saya dapat menyelesaikan praktikum  laporan akhir kultur jaringan, adapun isi dari laporan akhir  ini adalah mengenai praktikum kultur jaringan, laporan ini merupakan syarat untuk dapat mengikuti ujian praktikum dan merupakan syarat dalam mengontrak mata kuliah kultur jaringan.Saya juga tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada staf pengajar dan asisten yang telah  membimbing  dan mengajari saya dalam melaksanakan praktikum dan menyusun laporan ini serta semua pihak yang membantu  saya dalam hal pengurusan laporan ini.

Laporan ini masih sangat jauh dari kesempurnaaan oleh karena itu kritik atau saran yang membangun masih saya harapkan untuk penyempurnaan laporan akhir ini. Sebagai manusia biasa saya merasa memiliki banyak kesalahan, saya mohon maaf sebesar  besarnya atas perhatian  dari semua pihak yang membantu penyusunan laporan ini saya ucapkan terimakasih semoga laporan ini dapat digunakan seperlunya.


                              Padang 30 november 2013
 

                        SA’ADUDDIN







I.PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Kultur Jaringan adalah teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri & bergenerasi menjadi tanaman lengkap. Prinsip utamanya adalah perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman, menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril.Teknik kultur jaringan pada saat ini telah berkembang menjadi teknik perkembangbiakan tanaman yang sangat penting pada berbagai spesies tanaman.

Beberapa ahli yang juga telah bekerja mengisi sejarah perkembangan Botani abad 19, adalah Charles Darwin, Louis Pasteur, Justus Van Liebig, Johan Knopp, dan Rechinger. Charles Darwin dikenal dengan julukan “raja penamat”, menemukan hormon pada koleoptil sebangsa rumput. Kemudian Louis Pasteur yan menentang aliran “generatio spontanea” mengemukakan pentingnya sterilisasi. Pada akhir abad 19, Johan Knopp (1817 – 1891) menemukan 10 unsur hara yan penting bagi pertumbuhan tanaman. Dengan penemuannya ini ia dikenal dengan “Knop’s Solution”, beberapa tahun setelah Knopp, Rechinger (1893) telah mencoba mengambil potongan kecil batang poplar dan beet, kemudian memelihara bahan-bahan ini di atas kertas filter lembab. Dari percobaan ini ia menemukan pertumbuhan kalus. Dengan mengurangi ukuran potongan tanaman akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa ukuran yang paling baik adalah ukuran kecil namun tidak kurang dari 1,5 cm.
Kira-kira pada permulaan abad ini, beberapa ahli botani mengembangkan suatu teori, bahwa sel atau jaringan tanaman pada dasarnya dapat ditanam secara terpisah dalam suatu kultur. Sel dan jaringan yang ditanam dengan cara ini memiliki kemampuan untuk regenerasi bagian-bagian yang diperlukan, dalam upayanya untuk bisa tumbuh dengan normal, membentuk kembali menjadi tanaman yang utuh. Dengan kata lain, bahwa di dalam masing-masing sel tanaman mungkin mengandung informasi genetik atau sarana fisiologis tertentu yang mampu membentuk tanaman lengkap bila ditempatkan dalam lingkungan yang sesuai. Kemampuan inilah yang kemudian dikenal sebagai totipotensi. Pada permulaan abad ke 20 konsep totipotensi terus dikembangkan,  Gottlieb Hamberlant seorang ahli Botani bangsa Jerman pada tahun 1902 melanjutkan konsep totipotensi ini secara bersungguh-sungguh. Ia menekankan bahwa embrio tanaman dapat tumbuh dengan jalan memelihara sel-sel vegetatif. Walaupun percobaannya gagal namun ia memastikan bahwa sifat totipotensi yan dimiliki oleh sel menyebabkan sel dapat dipisahkan dan dipelihara pada media tumbuh. Bila medianya cocok, sel yang dipisahkan itu akan melanjutkan kehidupannya dan berkembang menjadi satu tanaman .
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk membuktikan pendapat ini. Namun pada saat itu belum berhasil, karena kurangnya pengetahuan para peneliti, khususnya dalam hal kebutuhan nutrisi dan hormone untuk pertumbuhan. Baru beberapa waktu kemudian, yaitu sejak diketemukannya dua macam hormon tanaman, yaitu asam indol asetat dan asam naftalenasetat, telah mulai berhasil dilakukan kultur organ (1920). kultur jaringan (1939). Hingga sekarang kedua hormon tanaman tersebut diyakini memiliki peranan sangat penting artinya dalam kultur jaringan modern. Pada masa-masa tersebut, yaitu masa-masa awal dimana era kultur jaringan baru mulai dikenal, jarang sekali orang dapat berhasil melakukan regenerasi akar, pucuk tanaman, dan organ tanaman lain secara kultur jaringan, sehingga pada saat itu orangpun mulai mempertanyakan kebenaran teori totipotensi tersebut.
Sesudah Hamberlant, menjalani tahun-tahun pada abad 20, penelitian tentang kultur jaringan tanaman berkembang pesat. Berikut ini adalah rentetan peristiwa penting yan mengisi sejarah perkembangan kultur jaringan sesudah Hamberlant, dirangkum dari Pierik, (1987), Gautherett (1982), dan Butenko (1968). Keterangan ini disusun secara sistematik menurut tahun penemuan, 1922 Knudson menemukan germinasi asimbiotik biji tanaman angrek secara in vitro. Pengembangan metode kultivasi kultur jaringan dimulaikan oleh dua oran saintis yang sudah bertahun-tahun berusaha bekerja di bidan ini. Mereka adalah White P., dan Gautheret R.

1934 White P., sesudah bertahun-tahun gagal, pada tahun ini berhasil mengkulturkan ujung akar tomat. Pada tahun yang sama Gautheret L., mengkulturkan in vitro jaringan kambium tanaman Acer pseudoplanatus, Salix caparaea, dan Sambucus nigra. Pada saat ini ide tentang kultur jaringan dapat dikatakan sudah tercapai namun oleh karena eksplant tidak dipindahkan ke media yang baru, maka perkembangan terhenti sesudah berumur 15 – 18 bulan. Dikatakan bahwa pada saat itu media ternyata kekurangan beberapa unsur yang berfungsi untuk pembelahan sel. 
1939 P. R. White seorang peneliti dari Amerika (yang sekarang dianggap sebagai Bapak Kultur Jaringan) melaporkan sejumlah hasil penelitiannya tentang keberhasilan ia menumbuhkan sejumlah tunas dari potongan-potongan kalus tembakau yang ditanam dalam medium cair.Walaupun sampai saat itu ia belum berhasil menumbuhkan akar dari tunas-tunas yang diteliti, suatu lankah maju di bidang perbanyakan kultur jaringan telah berhasil dicapai dalam upaya untuk membuktikan sebagian kebenaran dari teori totipotensi. 1940 Seorang ahli yang lain, Folke Skoog, ahli fisiologi tanaman dari Universitas Winconsin pada tahun melanjutkan penelitian-penelitian yang dilakukan White dan telah berhasil membuktikan, bahwa hormon-hormon auksin, yaitu IAA dan NAA (yang pada waktu itu dikenal sebagai pemacu pertumbuhan akar dari potongan-potongan dahan), ternyata mampu menghambat awal pertumbuhan tunas. Selanjutnya dengan percobaan-percobaannya menggunakan kultur jaringan tembakau, dia mulai mencari senyawa-senyawa kimia yang dapat berinteraksi dengan senyawa-senyawa auksin serta senyawa-senyawa yang memacu pertumbuhan tunas.
1941 Van Overbeek mula-mula menggunakan air kelapa (yang mengandung faktor perangsang pembelahan sel) dalam mengkulturkan embrio Datura, 1943 White menerbitkan bukunya “A Handbook of Plant Tissue Culture” yang memuat pengetahuan serta hasil penemuan pada jaman itu, 1944 Skoog mula-mula mendapatkan tunas adventif dari hasil kultur jaringan,1945-1946 Loo Shi Wei, pertama-tama mengkulturkan apex batang, 1949 Vaccin dan Went menciptakan medium Vacin dan Went, 1950 Folke Skoog bersama-sama dengan muridnya berhasil menemukan adanya efek pemacu pembentukan tunas yang disebabkan oleh senyawa-senyawa fosfat anorganik maupun senyawa-senyawa organic, yaitu adenine dan adenosin,1952 Morel dan Martin pertama-tama menemukan dahlia yan bebas virus dari hasil kultur meristem.
1954 Muir et al pertama-tama mendapatkan tanaman dari kultur sel. Wetmore, R. H., dan Sorkin S., mengembangkan teori Hamberlant tentang organogenesis yan sekarang dikenal dengan mikropropagasi, 1955, kelompok Skoog menemukan kinetin, yaitu hormone golongan sitokinin yang pertama kali ditemukan. 1957 Skoog dan Miller melaporkan hasil penelitian mereka yang sekarang telah dianggap klasik,yaitu mengemukakan ratio sitokinin dan auxin untuk mengatur pembentukkan organ. Mereka menulis satu artikel tentan “Chemical Regulation of Growth and Organ Formulation in Plant Tissue Cultured in Vitro” mengenai keterkaitan kedua golongan hormone, auksin dan sitokinin dalam pengaturan regenerasi akar dan tunas. Penelitian ini selanjutnya menjadi landasan berbagai upaya pembiakan secara kultur jaringan. 
Skoog menyadari besarnya potensi ekonomi dari hasil penelitian-penelitiannya, selanjutnya semakin menekuni bidang kultur jaringan bersama-sama murud-murid dan teman-temannya. Torrey J. C., mendemonstrasikan pembelahan sel yang diisolasikan,1958 Reinert dan Steward, menemukan regenerasi proembrio dari suspensi sel Daucus carota,  K. V. Thimann dari  Universitas Harvard melaporkan penemuan-penemuannya pada beberapa kali penerbitan yang dimulai tahun 1958, bahwa hormon-hormon sitokinin mampu melawan efek pertumbuhan tunas apical. Dan mereka berhasil pula membuktikan, bahwa kinetin bersifat memacu pertumbuhan tunas lateral yan biasanya tidak terlihat nyata akibat penaruh dari tunas apical pucuk tanaman. Hal inilah yan selanjutnya menjadi dasar fisiologis dalam upaya meningkatkan jumlah cabang-cabang lateral, yang seperti diketahui sangat penting artinya bai pembiakan secara kultur jaringan. Dalam tahun-tahun berikutnya, banyak peneliti yan memberikan sumbangan pengetahuan yang menunjang keberhasilan usaha pembiakan secara kultur jaringan tersebut.
1960 Cocking E. C., memperoleh sejumlah protoplast dengan jalan degradasi dinding sel menggunakan enzyme, Morel mempropagasikan tanaman angrek melalui kultur meristem, 1962 Murashige T., dan Skoog F., mengembangkan formulasi media kultur yan amat terkenal dan sampai sekarang dipakai di dunia internasional, yaitu media Murashige-Skoog. Di sini peranan Murashige sangat penting artinya, karena selain telah memberi sumbangan pengetahuan dasar kultrur sel dan jaringan, usahanya telah mengarah ke penerapan di bidang pembiakan secara kultur jaringan dalam skala komersial. Murashige bersama murid-muridnya di Universitas California telah menyusun prosedur lenkap pembiakan kultur jaringan dari sejumlah besar spesies tanaman yang diketahui bernilai ekonomi tinggi. Pengembangan hasil karya tersebut selanjutnya mendorong pertumbuhan industri-industri pembiakan secara kultur jaringan di Amerika Serikat.


I.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum kultur jaringan ini adalah :
1.      Mengetahui cara kerja pada kultur jaringan
2.      Untuk mendapatkan tanaman yang seragam dengan induknya
3.      Untuk mendapatkan jumlah bibit yang banyak dan seragam dalam waktu yang singkat.
4.      Untuk melatih keterampilan mahasiswa dalam melakukan perbanyakan tanaman secara in-vitro.



II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Langsat
Duku adalah nama umum dari sejenis buah-buahan anggota suku Meliaceae. Tanaman yang berasal dari Asia Tenggara sebelah barat ini dikenal pula dengan nama-nama yang lain seperti langsat, kokosan, pisitan, celoring dan lain-lain dengan pelbagai variasinya. Nama-nama yang beraneka ragam ini sekaligus menunjukkan adanya aneka kultivar yang tercermin dari bentuk buah dan pohon yang berbeda-beda. Pohon yang berukuran sedang, dengan tinggi mencapai 30 m dan gemang hingga 75 cm. Batang biasanya beralur-alur dalam tak teratur, dengan banir (akar papan) yang pipih menonjol di atas tanah. Pepagan (kulit kayu) berwarna kelabu berbintik-bintik gelap dan jingga, mengandung getah kental berwarna susu yang lengket (resin). 
Duku biasa ditanam di dataran rendah hingga ketinggian 600 m dpl., di wilayah dengan curah hujan antara 1.500-2.500 mm per tahun. Tanaman ini dapat tumbuh dan berbuah baik pada berbagai jenis tanah, terutama tipe tanah latosol, podsolik kuning, dan aluvial. Duku menyenangi tanah bertekstur sedang dan berdrainase baik, kaya bahan organik dan sedikit asam, namun dengan ketersediaan air tanah yang cukup. Sementara itu varietas langsat lebih tahan terhadap perubahan musim, dan dapat menenggang musim kemarau asalkan cukup ternaungi dan mendapatkan air. Duku tidak tahan penggenangan. 
2.2 Kultur jaringan
Kultur jaringan atau biakan jaringan merupakan teknik pemeliharaan jaringan atau bagian dari individu secara buatan (artifisial). Yang dimaksud secara buatan adalah dilakukan di luar individu yang bersangkutan. Karena itu teknik ini sering kali disebut kultur in vitro, sebagai lawan dari in vivo. Dikatakan in vitro (bahasa Latin, berarti “di dalam kaca”) karena jaringan dibiakkan di dalam tabung inkubasi atau cawan Petri dari kaca atau material tembus pandang lainnya. Kultur jaringan secara teoretis dapat dilakukan untuk semua jaringan, baik dari tumbuhan maupun hewan (termasuk manusia) namun masing-masing jaringan memerlukan komposisi media tertentu.
Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan (in vitro) menawarkan  peluang besar untuk menghasilkan jumlah bibit tanaman yang banyak dalam  waktu relatif singkat, sehingga lebih ekonomis. Teknik perbanyakan tanaman ini dapat dilakukan sepanjang tahun tanpa bergantung musim. Selain itu, perbanyakan dengan teknik in vitro mampu mengatasi kebutuhan bibit dalam jumlah besar, serentak dan bebas penyakit sehingga bibit yang dihasilkan lebih sehat serta seragam. Oleh sebab itu, perbanyakan tanaman secara kultur jaringan merupakan teknik alternatif yang tidak dapat dihindari bila penyediaan bibit tanaman harus dilakukan dalam skala besar dan dalam waktu yang relatif singkat. (Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya).
Kultur  jaringan atau  tissue culture berasal dari dua kata yaitu kultur  atau  culture dan jaringan atau  tissue. Kultur adalah budidaya, sedangkan jaringan adalah sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama (Nugroho dan Sugito, 2005). Sehingga kultur jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat sama seperti induknya. Kultur jaringan tanaman yang juga disebut  weefsel cultuss atau  gewebe kultur merupakan teknik menumbuhkembangkan bagian tanaman, baik berupa sel, jaringan atau organ dalam kondisi aseptik secara  in vitro. Teknik ini dicirikan oleh kondisi kultur yang aseptik, penggunaan media kultur buatan dengan kandungan nutrisi lengkap dan ZPT (zat pengatur tumbuh), serta kondisi ruang kultur yang suhu dan pencahayaannya terkontrol (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Keuntungan dari kultur jaringan lebih hemat tempat, hemat waktu, dan tanaman yang diperbanyak dengan kultur jaringan mempunyai sifat sama atau seragam dengan induknya. Contoh tanaman yang sudah lazim diperbanyak secara kultur jaringan adalah tanaman anggrek. Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional.

Kultur jaringan mengandung dua prinsip dasar yang jelas, yaitu :  Bahan tanam yang totipotensi Konsep dasar ini mutlak ada dalam pelaksanaan kegiatan kultur jaringan karena hanya dengan adanya sifat totipotensi ini sel jaringan organ yang digunakan akan mampu tumbuh dan berkembang sesuai arah dan tujuan budidaya in vitro yang dilakukan. Namun, sifat totipotensi lebih besar dimilki oleh bagian yang masih muda dan banyak dijumpai pada daerah meristem.

 Bahan tanam yang sementara ini digunakan dalam kegiatan kultur jaringan dan sering terbukti dapat tumbuh dan berkembang adalah: Sel, sel biasanya ditanam dalam bentuk suspensi dengan kepadatan yang telah ditentukan, Protoplast, biasanya juga ditanam dalam bentuk yang telah ditentukan, Jaringan meristem, jaringan yang ditanam biasanya dalam bentuk potongan organ yang terdapat pada derah-daerah pertumbuhan, Kalus, kalus ditanam dalam bentuk massa sel yang belum terdeferensiasi dan biasanya ditanam daam media induksi untuk pertumbuhan kalus, Organ, bahan yang paling umum dalam kegiatan kultur jaringan. Budidaya yang terkendali, Sifat bahan yang totipotensi saja tidak cukup untuk kesuksesan kegiatan kultur jaringan. Prinsip dasar budidaya yang terkendali ini meliputi : Keadaan media tempat tumbuh, Lingkungan yang mempengaruhi Keharusan sterilisasi.



2.3 Media
Ada dua penggolongan media tumbuh: media padat dan media cair. Media padat pada umumnya berupa padatan gel, seperti agar, dimana nutrisi dicampurkan pada agar. Media cair adalah nutrisi yang dilarutkan di air,  Media cair dapat bersifat tenang atau dalam kondisi selalu bergerak, tergantung kebutuhan.  Komposisi media yang digunakan dalam kultur jaringan dapat berbeda komposisinya. Perbedaan komposisi media dapat mengakibatkan perbedaan pertumbuhan dan perkembangan eksplan yang ditumbuhkan secara in vitro. Media Murashige dan Skoog (MS) sering digunakan karena cukup memenuhi unsur hara makro, mikro dan vitamin untuk pertumbuhan tanaman. 
Nutrien yang tersedia di media berguna untuk metabolisme, dan vitamin pada media dibutuhkan oleh organisme dalam jumlah sedikit untuk regulasi. Pada media MS, tidak terdapat zat pengatur tumbuh (ZPT) oleh karena itu ZPT ditambahkan pada media (eksogen).  ZPT atau hormon tumbuhan berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Interaksi dan keseimbangan antara ZPT yang diberikan dalam media (eksogen) dan yang diproduksi oleh sel secara endogen menentukan arah perkembangan suatu kultur. Penambahan hormon tumbuhan atau zat pengatur tumbuh pada jaringan parenkim dapat mengembalikan jaringan ini menjadi meristematik kembali dan berkembang menjadi jaringan adventif tempat pucuk, tunas, akar maupun daun pada lokasi yang tidak semestinya. Proses ini dikenal dengan peristiwa dediferensiasi. Dediferensiasi ditandai dengan peningkatan aktivitas pembelahan, pembesaran sel, dan perkembangan jaringan.
Komposisi Media Kultur Jaringan,Hara anorganik  Ada 12 hara mineral yang penting untuk pertumbuhan tanaman dan beberapa hara yang dilaporkan mempengaruhi pertumbuhan in vitro. Untuk pertumbuhan normal dalam kultur jaringan, unsur – unsur penting ini harus dimasukkan dalam media kultur. unsur esensial ini dimasukkan pada masing – masing media tapi konsentrasinya berbeda karena diberikan dalam bentuk yang berbeda. 

Hara organikTanaman yang tumbuh dalam kondisi normal bersifat autotrof dan dapat mensintesa semua kebutuhan bahan organiknya. Meskipun tanaman in vitro dapat mensintesa senyawa ini, diperkirakan mereka tidak menghasilkan vitamin dalam jumlah yang cukup untuk pertumbuhan yang sehat dan satu atau lebih vitamin mesti ditambahkan ke media. Thiamin merupakan vitamin yang penting, selain itu asam nikotin, piridoksin dan inositol biasanya ditambahkan.Selain bahan organik tersebut, bahan kompleks seringkali ditambahkan, termasuk ekstrak ragi, casein hydrolysate, air kelapa, jus jeruk, jaringan pisang, dan lain – lain. Penambahan bahan kompleks ini menghasilkan media yang tak terdefinisi. Dengan penelitian yang cukup, semestinya bahan kompleks ini dapat diganti dengan zat tertentu, mungkin tambahan suatu vitamin atau asam amino.
Sumber karbon, Tanaman dalam kultur jaringan tumbuh secara heterotrof dan karena mereka tidak cukup mensintesa kebutuhan karbonnya, maka sukrosa harus ditambahkan ke dalam media. Sumber karbon ini menyediakan energy bagi pertumbuhan tanaman dan juga sebagai bahan pembangun untuk memproduksi molekul yang lebih besar yang diperlukan untuk tumbuh. Biasanya sukrosa pada konsentrasi 1 – 5% digunakan sebagai sumber karbon tapi sumber karbon lain seperti glukosa, maltosa, galaktosa dan laktosa juga digunakan. Ketika sukrosa diautoklaf, terjadi hidrolisis untuk menghasilkan glukosa dan fruktosa yang dapat digunakan lebih efisien oleh tanaman dalam kultur.
Agar, Umumnya jaringan dikulturkan pada media padat yang dibuat seperti gel dengan menggunakan agar atau pengganti agar sperti Gelrite atau Phytagel. Konsentrasi agar yang digunakan berkisar antara 0.7 – 1.0%. Pada konsentrasi tinggi agar menjadi sangat keras, sedikit sekali air yang tersedia, sehingga difusi hara ke tanaman sangat buruk. Agar dengan kualitas tinggi seperti Difco BiTek mahal harganya tapi lebih murni, tidak mengandung bahan lain yang mungkin mengganggu pertumbuhan. Pengganti lain seperti gelatin kadang – kadang digunakan pada lab komersial. Gel sintetis diketahui dapat menyebabkan hyperhidration (vitrifikasi) yang merupakan problem fisiologis yang terjadi pada kultur. Untuk mengatasi masalah ini, produk baru bernaman Agargel telah diproduksi ole Sigma. Produk ini merupakan campuran agar dan gel sintetis dan menawarkan kelebihan kedua produk sekaligus mengurangi problem vitrifikasi. Produk ini dapat dibuat di lab dengan mencampurkan 1 g Gelrite (Phytagel) dengan 4 g agar sebagai agen pengental untuk 1 L media.
pH, pH media biasanya diatur pada kisaran 5.6 – 5.8 tapi tanaman yang berbeda mungkin memerlukan pH yang berbeda untuk pertumbuhan optimum. Jika pH lebih tinggi dari 6.0, media mungkin menjadi terlalu keras dan jika pH kurang dari 5.2, agar tidak dapat memadat.Zat Pengatur Tumbuh Pada media umumnya ditambahkan zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh akan dibahas tersendiri pada minggu 13.Air, Air distilata biasanya digunakan dalam kultur jaringan, dan banyak lab menggunakan aquabides (air destilata ganda). Beberapa lab, dengan alasan ekonomi, menggunakan air hujan, tapi ini menyebabkan sulit mengontrol kandungan bahan organik dan non-organik pada media.Pemilihan Media, Jika tidak ada informasi awal, biasanya mulai dengan media MS (Murashige dan Skoog 1962).
Media ini mengandung konsentrasi garam dan nitrat yang lebih tinggi dibandingkan media lain, dan telah sukses digunakan pada berbagai tanaman dikotil. Untuk inisiasi kalus, 2.4-D ditambahkan ke media dengan konsentrasi 1 – 5 mgL-1. Untuk multiplikasi tunas, sitokinin seperti BAP ditambahkan dan juga diberi auksin, seperti NAA pada konsentrasi yang rendah. Untuk inisiasi akar, IBA pada konsentrasi 1 – 2 mgL-1 ditambahkan. Faktor yang paling sulit ditentukan dalam kultur jaringan adalah zat pengatur tumbuh dan biasanya perlu melakukan penelitian kecil untuk menentukan konsentrasi terbaik yang akan digunakan. Ada 2 pendekatan: Pendekatan pertaman adalah dengan menggunakan media dasar MS dan meneliti kisaran dua zat pengatur tumbuh yang berbeda.

2.4 Zat pengatur tumbuh (ZPT).
Hormon adalah bahan organik yang disintesa pada jaringan tanaman. Hormon diperlukan dalam konsentrasi yang rendah untuk mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Banyak molekul sintetis organik yang telah dikenal memiliki aktivitas serupa hormon. Senyawa sintetis dan hormon yang secara alami ada, dikenal dengan sebutan zat pengatur tumbuh. Kultur jaringan merupakan manipulasi pertumbuhan tanaman dalam kondisi yang terkontrol dengan baik dan auksin serta sitokinin berperan penting dalam manipulasi ini. Kebanyakan eksplan menghasilkan sejumlah (endogenus) auksin dan sitokinin. Dalam kultur jaringan, tambahan (exogenous) zat pengatur tumbuh diberikan untuk memperoleh efek pertumbuhan. Sebagai panduan umum, auksin atau sitokinin atau keduanya ditambahkan ke dalam kultur untuk memperoleh respon pertumbuhan.
Beberapa aspek praktis penggunaan zat pengatur tumbuh, Zat pengatur tumbuh (ZPT) yang digunakan pada media disimpan dalam gelap pada refrigerator sebagai larutan stok. Sedikit volume (misalnya 50 mL) larutan stok mengandung 1 mg mL-1 ZPT dapat disimpan untuk beberapa lama. Kestabilan zpt bervariasi: kinetin dan IAA tidak stabil pada kondisi cahaya, sehingga biasanya disimpan pada botol berwarna gelap. Juga, IAA kehilangan aktivitasnya pada larutan aqueous sehingga larutan stok IAA sebaiknya tidak disimpan dalam jangka waktu yang lama. De Fossard (1976) memberi detail yang sangat berguna untuk persiapan larutan stok. Secara umum, auksin harus dilarutkan dulu pada sedikit alcohol (95%) sebelum volume sebenarnya dibuat dengan penambahan air. Sitokinin harus dilarutkan terlebih dahulu pada sedikit larutan 1 N asam hydrochloric dan lalu ditambahkan air sampai volume sebenarnya.
ZPT diperlukan dalam konsentrasi rendah utk mempengaruhi pertumbuhan tan Stok ZPT harus disimpan dalam gelap, Auksin harus dilarutkan dlm 95% alkohol (sedikit saja), baru dicampur air, Sitokinin dilarutkan dlm sedikit 1N HCl , Auksin atau sitokinin bisa juga dilarutkan dlm 1N NaOH, Auksin, IAA – auksin alami, IBA, NAA, 2,4-D – auksin sintetik, Konsentrasi 0.01 – 10 mg/L, Auksin sintetik relatif lebih aktif. Juga lebih stabil karena tidak didegradasi oleh enzym dalam tanaman , Peran : pembelahan sel, pembentukan kalus, pertumbuhan dan pemanjangan sel, pembentukan akar adventif. Menghambat pembtkan tunas aksilar. Sitokinin, alami : 2iP, zeatin ,Sintetik : BAP, Kinetin, Pengaruh : memacu pembtkan tunas aksilar dan tunas adventif, memacu pembelahan sel, Tahan panas, sehingga bisa ditambahkan sebelum diautoklaf.
Gibberelic Acid, Grup ini memiliki 60 jenis, tapi GA3 yg paling umum terdapat pada tumbuhan, Tidak tahan panas, jadi tidak bisa diautoklaf. Penambahan dengan milipore filtration (sterilisasi filter), Peran : perkecambahan benih, memacu pemanjangan ruas, memacu pembentukan embrio dari kalus, Merupakan zat penghambat tumbuh, Jarang digunakan dlm kuljar, Aplikasi khusus untuk memacu pembentukan embrio dari kalus. Ethylene, ethylene diproduksi sebagai respon terhadap kondisi kelebihan air, kondisi yg mirip dg kultur in vitro.  Pada konsentrasi yg tinggi, ethylene menyebabkan vitrifikasi (tanaman terlihat transparan). Adenine Sering ditambahkan pd media untuk merangsang pertumbuhan tunas.





BAB III
BAHAN DAN METODA

3.1 Waktu dan Tempat Pratikum
            Pratikum ini dilakukan setiap hari Sabtu  jam 08 :00 wib dilaboratorium Kultur Jaringan  Fakultas Pertanian Universitas Andalas.
3.2 Alat dan Bahan Pratikum
            Alat yang digunakan selama pratikum adalah Autoclab, Kompor gas, Petridish, Botol, Tisue, Laminar air flow, Lampu bunsen, Pinset, Gunting, isolatip, warping, kertas pengukur PH, Timbangan, Magnetik stirel, Catatan dan Alat tulis,. Dan bahan yang di gunakan adalah larutan stok a, stok b, stok c, vitamin, pupuk cair, sukrosa, agar-agar, aquades, tanaman Kentang.
3.3 Cara Kerja
            Pada minggu pertama pratikum yang dilakukan adalah pengenalan alat dan bahan pratikum dan ruangan-ruangan pratikum beserta fungsinya. Satu persatu alat dan bahan  dicatat, kemudian keliling melihat ruangan pratikum satu persatu dan dicatat fungsi ruangan masing-masing. Pada minggu kedua, pratikum yang dilakukan adalah sterilisasi alat dan bahan. Petama melakukan autoclab kotor pada botol kultur yang akan digunakan nantinya, lalu botol-botol tadi dicuci bersih, kemudian direndam didalam bayclean selama semalam kemudian dilakukan kembali autoclab bersih pada botol kultur tadi.
            Pada minggu ketiga, pratikum yang dilakukan adalah melakukan pembuatan media tanam. Pertama yang dilakukan adalah mencampurkan larutan-larutan stok, mulai dari stok a, stok b dan stok c . Kemudian masukkan sukrosa (gula) dengan ukuran 7,5 gram karena media yang akan dibuat hanya 250 ml. Kemudian yang dilakukan adalah mengaduknya hingga tercampur homogen menggunakan magnetik stirel. Setelah itu diukur Phnya menggunakan kertas pengukur PH. Setelah diukur PH nya kemudian masukkan agar, masak dan aduk-aduk sampai media mendidih, kemudian masukkan media tadi kedalam botol kira-kira 25 ml. Terakhir lakukan inkubasi selama seminggu sebelum penanaman.
            Pada minggu keempat, Pada minggu keempat ini yang dilakukan adalah penanaman eksplan kedaalam botol. Pertama tangan disemprot dengan alkohol, lalu alat-alat yang ada didalam laminar air flow juga disemprot dengan alkohol. Kemudian lakukan pembakaran ujung botol yang telah berisi media dengan menggunakan lampu bunsen untuk selanjutnya dibuka slotipnya lalu dilap menggunakan tisue. Siapkan ekplan, ambil eksplant menggunakan pinset tapi sebelumnya pinset harus dibakar diatas lampu bunsen agar mikroorganisme yang ada disana mati. Masukkan eksplan tadi kedalam botol yang telah berisi media. Eksplan dimasukkan dengan posisi tegak agar pertumbuhan akar dan tunasnya baik. Lalu lakukan penutupan pada botol dengan menggunakan selotip. Terakhir untuk memastikan botol tertutup dengan benar-benar rapat, lakukan penutupan kembali menggunakan warping. Tanaman siap untuk dipindahkan keruang inkubasi.
            Pada minggu kelima, pratikum yang dilakukan pada mingu kelima hanya berupa pengamatan terhadap tanaman kultur. Tanaman kultur yang terkontaminasi dipisahkan dan dikeluarkan dari ruang inkubasi. Terakhir lakukan dokumentasi untuk laporan akhir pratikum. Pada minggu keenam, pratikum yang dilakukan pada minggu keenam tidak jauh berbeda dengan minggu kelima. Pada pratikum kali ini yang hanya lah pengamataan dan pemisahan tanaman yang terkontaminasi. Begitu seterusnya pada minggu selanjutnya.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Adapun hasil yang di dapatkan pada tanaman lansek selama praktikum adalah sebagai berikut :
            

  




                                                                  Yang Terkontaminasi

                                                                    
4.2 Pembahasan

Dari praktikum kultur jaringan pada tanaman lansek yang telah dilakukan didapatkan hasil yang terkontaminasi tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh bahan yang kurang steril, media,  dan juga pakaian yang digunakan seperti jas lab yang kotor, dan pada saat melakukan penanaman di laminar air flow seharusnya di dalam ruangan tersebut yang diperbolehkan hanya tiga orang, tapi pada saat penanaman biji lansek tersebut di dalam ruangan lebih dari tiga orang sehingga kemungkinan besar media nya terkontaminasi karena mereka banyak melakukan aktivitas dalam ruangan di saat saya melakukan penanaman lansek.
Selain dari faktor faktor tersebut bisa juga media terkontaminasi setelah penanaman selesai seperti penutup botol media yang kurang rapat sehingga pada saat memindahkan media dari laminar air flow ke ruang pendingin terjadi kontak langsung dengan udara sehingga meyebabkan tanaman terkontaminasi, atau pada saat pemeriksaan rutin yang dilakukan untuk mengamati pertumbuhan bahan tanam tersebut sehingga ketika mengamati media tersebut kita lupa menyemprot media dengan alkohol setelah di pegang sehingga menyebabkan kontaminasi.
Pada ulangan penanaman kedua tanamannya dapat tumbuh dengan baik hal ini dikarenakan penanaman dilakukan dengan hati hati seperti media yang sudah steril dan pada saat  penanaman media jumlah orang yang terdapat dalam ruangan sedikit sehingga tidak ada gangguan pada saat penanaman biji lansek tersebut, terjadinya kegagalan pada tahap pertama karena kurangnya kehati hatian pada saat melakukan praktikum.




BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan praktikum kultur jaringan diperlukan kehati hatian yang serius, jika tidak maka media tanam akan terkontaminasi sehingga praktikan dituntut lebih kreatif dalam menanam eksplan karena ini menjadi faktor penentu keberhasilan kultur jaringan.

5.2 Saran
Pada saat melakukan praktikum kultur jaringan diharapkan kepada praktikan agar  lebih berhati hati dalam bekerja supaya tidak terjadi kontaminasi pada media yang akan di tanam, dan ketika bekerja di laminar air flow jangan terlalu banyak tindakan yang lain lain diluar kegiatan penanaman karena hal tersebut dapat memacu terkontaminannya bahan kultur jaringan.









DAFTAR PUSTAKA

Hendaryono, D.P.S. dan A. Wijayani. 1994. Teknik kultur jaringan. Kanisius.  Yogyakarta. pp.139.
Nugroho, A. dan H. Sugito. 2005. Teknik kultur jaringan. Penebar Swadaya. Jakarta. pp.71.
Suparwoto dan Yanter Hutapea. 2005. Keragaman buah duku dan pemasarannya di Sumatera Selatan,  Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 8(3)
Verheij, E.W.M. dan R.E. Coronel (eds.). 1997. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 2: Buah-buahan yang dapat dimakan. PROSEA – Gramedia. Jakarta.
http://www.id.wikipedia.org, Diakses pada tanggal 29 november 2013












Tidak ada komentar:

Posting Komentar