KATA PENGANTAR
Puji dan
syukur saya panjatkan kepada tuhan yang
maha esa, karena atas berkat rahmatnya saya dapat menyelesaikan praktikum laporan akhir kultur jaringan, adapun isi
dari laporan akhir ini adalah mengenai
praktikum kultur jaringan, laporan ini merupakan syarat untuk dapat mengikuti
ujian praktikum dan merupakan syarat dalam mengontrak mata kuliah kultur
jaringan.Saya
juga tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada staf pengajar dan asisten yang
telah membimbing dan mengajari saya dalam melaksanakan
praktikum dan menyusun laporan ini serta semua pihak yang membantu saya dalam hal pengurusan laporan ini.
Laporan
ini masih sangat jauh dari kesempurnaaan oleh karena itu kritik atau saran yang
membangun masih saya harapkan untuk penyempurnaan laporan akhir ini. Sebagai
manusia biasa saya merasa memiliki banyak kesalahan, saya mohon maaf sebesar besarnya atas perhatian dari semua pihak yang membantu penyusunan
laporan ini saya ucapkan terimakasih semoga laporan ini dapat digunakan
seperlunya.
Padang 30 november 2013
SA’ADUDDIN
I.PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kultur Jaringan adalah teknik
perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata
tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara
aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang
tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri & bergenerasi
menjadi tanaman lengkap. Prinsip utamanya adalah perbanyakan tanaman dengan
menggunakan bagian vegetatif tanaman, menggunakan media buatan yang dilakukan
di tempat steril.Teknik kultur jaringan pada saat ini telah berkembang menjadi teknik
perkembangbiakan tanaman yang sangat penting pada berbagai spesies tanaman.
Beberapa
ahli yang juga telah bekerja mengisi sejarah perkembangan Botani abad 19,
adalah Charles Darwin, Louis Pasteur, Justus Van Liebig, Johan Knopp, dan
Rechinger. Charles Darwin dikenal dengan julukan “raja penamat”, menemukan
hormon pada koleoptil sebangsa rumput. Kemudian Louis Pasteur yan menentang
aliran “generatio spontanea” mengemukakan pentingnya sterilisasi. Pada akhir
abad 19, Johan Knopp (1817 – 1891) menemukan 10 unsur hara yan penting bagi
pertumbuhan tanaman. Dengan penemuannya ini ia dikenal dengan “Knop’s
Solution”, beberapa tahun setelah Knopp, Rechinger (1893) telah mencoba
mengambil potongan kecil batang poplar dan beet, kemudian memelihara bahan-bahan
ini di atas kertas filter lembab. Dari percobaan ini ia menemukan pertumbuhan
kalus. Dengan mengurangi ukuran potongan tanaman akhirnya ia mengambil
kesimpulan bahwa ukuran yang paling baik adalah ukuran kecil namun tidak kurang
dari 1,5 cm.
Kira-kira
pada permulaan abad ini, beberapa ahli botani mengembangkan suatu teori, bahwa
sel atau jaringan tanaman pada dasarnya dapat ditanam secara terpisah dalam
suatu kultur. Sel dan jaringan yang ditanam dengan cara ini memiliki kemampuan
untuk regenerasi bagian-bagian yang diperlukan, dalam upayanya untuk bisa
tumbuh dengan normal, membentuk kembali menjadi tanaman yang utuh. Dengan kata
lain, bahwa di dalam masing-masing sel tanaman mungkin mengandung informasi
genetik atau sarana fisiologis tertentu yang mampu membentuk tanaman lengkap
bila ditempatkan dalam lingkungan yang sesuai. Kemampuan inilah yang kemudian
dikenal sebagai totipotensi. Pada permulaan abad ke 20 konsep totipotensi terus
dikembangkan, Gottlieb Hamberlant
seorang ahli Botani bangsa Jerman pada tahun 1902 melanjutkan konsep
totipotensi ini secara bersungguh-sungguh. Ia menekankan bahwa embrio tanaman
dapat tumbuh dengan jalan memelihara sel-sel vegetatif. Walaupun percobaannya
gagal namun ia memastikan bahwa sifat totipotensi yan dimiliki oleh sel
menyebabkan sel dapat dipisahkan dan dipelihara pada media tumbuh. Bila
medianya cocok, sel yang dipisahkan itu akan melanjutkan kehidupannya dan
berkembang menjadi satu tanaman .
Berbagai
penelitian telah dilakukan untuk membuktikan pendapat ini. Namun pada saat itu
belum berhasil, karena kurangnya pengetahuan para peneliti, khususnya dalam hal
kebutuhan nutrisi dan hormone untuk pertumbuhan. Baru beberapa waktu kemudian,
yaitu sejak diketemukannya dua macam hormon tanaman, yaitu asam indol asetat dan
asam naftalenasetat, telah mulai berhasil dilakukan kultur organ (1920). kultur
jaringan (1939). Hingga sekarang kedua hormon tanaman tersebut diyakini
memiliki peranan sangat penting artinya dalam kultur jaringan modern. Pada
masa-masa tersebut, yaitu masa-masa awal dimana era kultur jaringan baru mulai
dikenal, jarang sekali orang dapat berhasil melakukan regenerasi akar, pucuk
tanaman, dan organ tanaman lain secara kultur jaringan, sehingga pada saat itu
orangpun mulai mempertanyakan kebenaran teori totipotensi tersebut.
Sesudah
Hamberlant, menjalani tahun-tahun pada abad 20, penelitian tentang kultur
jaringan tanaman berkembang pesat. Berikut ini adalah rentetan peristiwa
penting yan mengisi sejarah perkembangan kultur jaringan sesudah Hamberlant,
dirangkum dari Pierik, (1987), Gautherett (1982), dan Butenko (1968).
Keterangan ini disusun secara sistematik menurut tahun penemuan, 1922 Knudson
menemukan germinasi asimbiotik biji tanaman angrek secara in vitro.
Pengembangan metode kultivasi kultur jaringan dimulaikan oleh dua oran saintis
yang sudah bertahun-tahun berusaha bekerja di bidan ini. Mereka adalah White
P., dan Gautheret R.
1934 White P., sesudah bertahun-tahun gagal, pada tahun ini berhasil mengkulturkan ujung akar tomat. Pada tahun yang sama Gautheret L., mengkulturkan in vitro jaringan kambium tanaman Acer pseudoplanatus, Salix caparaea, dan Sambucus nigra. Pada saat ini ide tentang kultur jaringan dapat dikatakan sudah tercapai namun oleh karena eksplant tidak dipindahkan ke media yang baru, maka perkembangan terhenti sesudah berumur 15 – 18 bulan. Dikatakan bahwa pada saat itu media ternyata kekurangan beberapa unsur yang berfungsi untuk pembelahan sel.
1934 White P., sesudah bertahun-tahun gagal, pada tahun ini berhasil mengkulturkan ujung akar tomat. Pada tahun yang sama Gautheret L., mengkulturkan in vitro jaringan kambium tanaman Acer pseudoplanatus, Salix caparaea, dan Sambucus nigra. Pada saat ini ide tentang kultur jaringan dapat dikatakan sudah tercapai namun oleh karena eksplant tidak dipindahkan ke media yang baru, maka perkembangan terhenti sesudah berumur 15 – 18 bulan. Dikatakan bahwa pada saat itu media ternyata kekurangan beberapa unsur yang berfungsi untuk pembelahan sel.
1939
P. R. White seorang peneliti dari Amerika (yang sekarang dianggap sebagai Bapak
Kultur Jaringan) melaporkan sejumlah hasil penelitiannya tentang keberhasilan
ia menumbuhkan sejumlah tunas dari potongan-potongan kalus tembakau yang
ditanam dalam medium cair.Walaupun sampai saat itu ia belum berhasil
menumbuhkan akar dari tunas-tunas yang diteliti, suatu lankah maju di bidang
perbanyakan kultur jaringan telah berhasil dicapai dalam upaya untuk
membuktikan sebagian kebenaran dari teori totipotensi. 1940 Seorang ahli yang
lain, Folke Skoog, ahli fisiologi tanaman dari Universitas Winconsin pada tahun
melanjutkan penelitian-penelitian yang dilakukan White dan telah berhasil
membuktikan, bahwa hormon-hormon auksin, yaitu IAA dan NAA (yang pada waktu itu
dikenal sebagai pemacu pertumbuhan akar dari potongan-potongan dahan), ternyata
mampu menghambat awal pertumbuhan tunas. Selanjutnya dengan
percobaan-percobaannya menggunakan kultur jaringan tembakau, dia mulai mencari
senyawa-senyawa kimia yang dapat berinteraksi dengan senyawa-senyawa auksin
serta senyawa-senyawa yang memacu pertumbuhan tunas.
1941
Van Overbeek mula-mula menggunakan air kelapa (yang mengandung faktor
perangsang pembelahan sel) dalam mengkulturkan embrio Datura, 1943 White
menerbitkan bukunya “A Handbook of Plant Tissue Culture” yang memuat
pengetahuan serta hasil penemuan pada jaman itu, 1944 Skoog mula-mula
mendapatkan tunas adventif dari hasil kultur jaringan,1945-1946 Loo Shi Wei,
pertama-tama mengkulturkan apex batang, 1949 Vaccin dan Went menciptakan medium
Vacin dan Went, 1950 Folke Skoog bersama-sama dengan muridnya berhasil
menemukan adanya efek pemacu pembentukan tunas yang disebabkan oleh
senyawa-senyawa fosfat anorganik maupun senyawa-senyawa organic, yaitu adenine
dan adenosin,1952 Morel dan Martin pertama-tama menemukan dahlia yan bebas virus
dari hasil kultur meristem.
1954
Muir et al pertama-tama mendapatkan tanaman dari kultur sel. Wetmore, R. H.,
dan Sorkin S., mengembangkan teori Hamberlant tentang organogenesis yan
sekarang dikenal dengan mikropropagasi, 1955, kelompok Skoog menemukan kinetin,
yaitu hormone golongan sitokinin yang pertama kali ditemukan. 1957 Skoog dan
Miller melaporkan hasil penelitian mereka yang sekarang telah dianggap
klasik,yaitu mengemukakan ratio sitokinin dan auxin untuk mengatur pembentukkan
organ. Mereka menulis satu artikel tentan “Chemical Regulation of Growth and
Organ Formulation in Plant Tissue Cultured in Vitro” mengenai keterkaitan kedua
golongan hormone, auksin dan sitokinin dalam pengaturan regenerasi akar dan
tunas. Penelitian ini selanjutnya menjadi landasan berbagai upaya pembiakan
secara kultur jaringan.
Skoog
menyadari besarnya potensi ekonomi dari hasil penelitian-penelitiannya,
selanjutnya semakin menekuni bidang kultur jaringan bersama-sama murud-murid
dan teman-temannya. Torrey J. C., mendemonstrasikan pembelahan sel yang
diisolasikan,1958 Reinert dan Steward, menemukan regenerasi proembrio dari
suspensi sel Daucus carota, K. V.
Thimann dari Universitas Harvard
melaporkan penemuan-penemuannya pada beberapa kali penerbitan yang dimulai
tahun 1958, bahwa hormon-hormon sitokinin mampu melawan efek pertumbuhan tunas
apical. Dan mereka berhasil pula membuktikan, bahwa kinetin bersifat memacu
pertumbuhan tunas lateral yan biasanya tidak terlihat nyata akibat penaruh dari
tunas apical pucuk tanaman. Hal inilah yan selanjutnya menjadi dasar fisiologis
dalam upaya meningkatkan jumlah cabang-cabang lateral, yang seperti diketahui
sangat penting artinya bai pembiakan secara kultur jaringan. Dalam tahun-tahun
berikutnya, banyak peneliti yan memberikan sumbangan pengetahuan yang menunjang
keberhasilan usaha pembiakan secara kultur jaringan tersebut.
1960
Cocking E. C., memperoleh sejumlah protoplast dengan jalan degradasi dinding
sel menggunakan enzyme, Morel mempropagasikan tanaman angrek melalui kultur
meristem, 1962 Murashige T., dan Skoog F., mengembangkan formulasi media kultur
yan amat terkenal dan sampai sekarang dipakai di dunia internasional, yaitu
media Murashige-Skoog. Di sini peranan Murashige sangat penting artinya, karena
selain telah memberi sumbangan pengetahuan dasar kultrur sel dan jaringan,
usahanya telah mengarah ke penerapan di bidang pembiakan secara kultur jaringan
dalam skala komersial. Murashige bersama murid-muridnya di Universitas
California telah menyusun prosedur lenkap pembiakan kultur jaringan dari
sejumlah besar spesies tanaman yang diketahui bernilai ekonomi tinggi.
Pengembangan hasil karya tersebut selanjutnya mendorong pertumbuhan
industri-industri pembiakan secara kultur jaringan di Amerika Serikat.
I.2 Tujuan
Adapun
tujuan dari praktikum kultur jaringan ini adalah :
1. Mengetahui
cara kerja pada kultur jaringan
2. Untuk
mendapatkan tanaman yang seragam dengan induknya
3. Untuk
mendapatkan jumlah bibit yang banyak dan seragam dalam waktu yang singkat.
4. Untuk
melatih keterampilan mahasiswa dalam melakukan perbanyakan tanaman secara
in-vitro.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Langsat
Duku adalah nama umum dari sejenis buah-buahan anggota suku Meliaceae. Tanaman yang berasal dari Asia Tenggara sebelah barat ini dikenal pula dengan
nama-nama yang lain seperti langsat,
kokosan, pisitan, celoring
dan lain-lain dengan pelbagai variasinya. Nama-nama yang beraneka ragam ini sekaligus
menunjukkan adanya aneka kultivar yang tercermin dari bentuk buah dan pohon yang berbeda-beda. Pohon yang berukuran sedang, dengan tinggi
mencapai 30 m dan gemang hingga 75 cm. Batang biasanya beralur-alur dalam tak teratur, dengan
banir (akar papan) yang pipih menonjol di atas tanah. Pepagan (kulit kayu) berwarna kelabu
berbintik-bintik gelap dan jingga, mengandung getah kental berwarna susu yang
lengket (resin).
Duku biasa ditanam di dataran rendah
hingga ketinggian 600 m dpl., di wilayah dengan curah hujan antara
1.500-2.500 mm per tahun. Tanaman ini dapat tumbuh dan berbuah baik pada
berbagai jenis tanah, terutama tipe tanah latosol, podsolik
kuning, dan aluvial. Duku
menyenangi tanah bertekstur sedang dan berdrainase baik, kaya bahan organik dan
sedikit asam, namun dengan ketersediaan air tanah yang cukup. Sementara itu
varietas langsat lebih tahan terhadap perubahan musim, dan dapat
menenggang musim kemarau asalkan cukup ternaungi dan mendapatkan air. Duku tidak
tahan penggenangan.
2.2 Kultur jaringan
Kultur jaringan atau biakan jaringan merupakan teknik
pemeliharaan jaringan atau bagian dari individu secara buatan (artifisial).
Yang dimaksud secara buatan adalah dilakukan di luar individu yang
bersangkutan. Karena itu teknik ini sering kali disebut kultur in vitro,
sebagai lawan dari in vivo. Dikatakan in vitro (bahasa Latin, berarti “di dalam kaca”) karena jaringan
dibiakkan di dalam tabung inkubasi atau cawan Petri dari kaca atau material tembus pandang lainnya. Kultur jaringan secara teoretis
dapat dilakukan untuk semua jaringan, baik dari tumbuhan maupun hewan
(termasuk manusia) namun masing-masing jaringan memerlukan komposisi media
tertentu.
Perbanyakan
tanaman melalui kultur jaringan (in vitro) menawarkan peluang besar untuk menghasilkan jumlah bibit
tanaman yang banyak dalam waktu relatif
singkat, sehingga lebih ekonomis. Teknik perbanyakan tanaman ini dapat
dilakukan sepanjang tahun tanpa bergantung musim. Selain itu, perbanyakan
dengan teknik in vitro mampu mengatasi kebutuhan bibit dalam jumlah besar,
serentak dan bebas penyakit sehingga bibit yang dihasilkan lebih sehat serta
seragam. Oleh sebab itu, perbanyakan tanaman secara kultur jaringan merupakan
teknik alternatif yang tidak dapat dihindari bila penyediaan bibit tanaman
harus dilakukan dalam skala besar dan dalam waktu yang relatif singkat. (Balai
Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya).
Kultur jaringan atau
tissue culture berasal dari dua kata yaitu kultur atau
culture dan jaringan atau tissue.
Kultur adalah budidaya, sedangkan jaringan adalah sekelompok sel yang mempunyai
bentuk dan fungsi yang sama (Nugroho dan Sugito, 2005). Sehingga kultur
jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil
yang mempunyai sifat sama seperti induknya. Kultur jaringan tanaman yang juga
disebut weefsel cultuss atau gewebe kultur merupakan teknik
menumbuhkembangkan bagian tanaman, baik berupa sel, jaringan atau organ dalam
kondisi aseptik secara in vitro. Teknik
ini dicirikan oleh kondisi kultur yang aseptik, penggunaan media kultur buatan
dengan kandungan nutrisi lengkap dan ZPT (zat pengatur tumbuh), serta kondisi
ruang kultur yang suhu dan pencahayaannya terkontrol (Hendaryono dan Wijayani,
1994).
Keuntungan dari kultur
jaringan lebih hemat tempat, hemat waktu, dan tanaman yang diperbanyak dengan
kultur jaringan mempunyai sifat sama atau seragam dengan induknya. Contoh
tanaman yang sudah lazim diperbanyak secara kultur jaringan adalah tanaman
anggrek. Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak
tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif.
Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan,
antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak
dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas,
mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat,
kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat
dibandingkan dengan perbanyakan konvensional.
Kultur jaringan mengandung
dua prinsip dasar yang jelas, yaitu : Bahan
tanam yang totipotensi Konsep dasar ini mutlak ada dalam pelaksanaan kegiatan
kultur jaringan karena hanya dengan adanya sifat totipotensi ini sel jaringan
organ yang digunakan akan mampu tumbuh dan berkembang sesuai arah dan tujuan
budidaya in vitro yang dilakukan. Namun, sifat totipotensi lebih besar dimilki
oleh bagian yang masih muda dan banyak dijumpai pada daerah meristem.
Bahan tanam yang sementara ini digunakan dalam
kegiatan kultur jaringan dan sering terbukti dapat tumbuh dan berkembang adalah:
Sel, sel biasanya ditanam dalam bentuk suspensi dengan kepadatan yang telah
ditentukan, Protoplast, biasanya juga ditanam dalam bentuk yang telah
ditentukan, Jaringan meristem, jaringan yang ditanam biasanya dalam bentuk
potongan organ yang terdapat pada derah-daerah pertumbuhan, Kalus, kalus
ditanam dalam bentuk massa sel yang belum terdeferensiasi dan biasanya ditanam
daam media induksi untuk pertumbuhan kalus, Organ, bahan yang paling umum dalam
kegiatan kultur jaringan. Budidaya yang terkendali, Sifat bahan yang
totipotensi saja tidak cukup untuk kesuksesan kegiatan kultur jaringan. Prinsip
dasar budidaya yang terkendali ini meliputi : Keadaan media tempat tumbuh,
Lingkungan yang mempengaruhi Keharusan sterilisasi.
2.3
Media
Ada dua penggolongan media tumbuh:
media padat dan media cair. Media padat pada umumnya berupa padatan gel, seperti agar, dimana nutrisi dicampurkan pada agar. Media cair
adalah nutrisi yang dilarutkan di air, Media cair dapat bersifat
tenang atau dalam kondisi selalu bergerak, tergantung kebutuhan. Komposisi
media yang digunakan dalam kultur jaringan dapat berbeda komposisinya.
Perbedaan komposisi media dapat mengakibatkan perbedaan pertumbuhan dan perkembangan
eksplan yang
ditumbuhkan secara in vitro. Media Murashige dan Skoog (MS) sering
digunakan karena cukup memenuhi unsur hara makro, mikro dan vitamin untuk
pertumbuhan tanaman.
Nutrien yang tersedia di media berguna untuk metabolisme, dan vitamin pada media dibutuhkan oleh organisme
dalam jumlah sedikit untuk regulasi. Pada media MS, tidak terdapat zat pengatur
tumbuh (ZPT) oleh karena itu ZPT ditambahkan pada media (eksogen). ZPT atau hormon tumbuhan berpengaruh pada
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Interaksi dan keseimbangan antara ZPT yang
diberikan dalam media (eksogen) dan yang diproduksi oleh sel secara endogen
menentukan arah perkembangan suatu kultur. Penambahan hormon tumbuhan atau zat
pengatur tumbuh pada
jaringan parenkim dapat mengembalikan jaringan ini menjadi meristematik kembali
dan berkembang menjadi jaringan adventif tempat pucuk, tunas, akar maupun daun pada lokasi yang tidak semestinya. Proses ini dikenal dengan peristiwa dediferensiasi. Dediferensiasi ditandai dengan peningkatan aktivitas
pembelahan, pembesaran sel, dan perkembangan jaringan.
Komposisi Media Kultur Jaringan,Hara
anorganik Ada 12 hara mineral yang penting untuk
pertumbuhan tanaman dan beberapa hara yang dilaporkan mempengaruhi pertumbuhan
in vitro. Untuk pertumbuhan normal dalam kultur jaringan, unsur – unsur penting
ini harus dimasukkan dalam media kultur. unsur esensial ini dimasukkan pada
masing – masing media tapi konsentrasinya berbeda karena diberikan dalam bentuk
yang berbeda.
Hara organikTanaman yang tumbuh dalam kondisi normal bersifat autotrof dan dapat mensintesa semua kebutuhan bahan organiknya. Meskipun tanaman in vitro dapat mensintesa senyawa ini, diperkirakan mereka tidak menghasilkan vitamin dalam jumlah yang cukup untuk pertumbuhan yang sehat dan satu atau lebih vitamin mesti ditambahkan ke media. Thiamin merupakan vitamin yang penting, selain itu asam nikotin, piridoksin dan inositol biasanya ditambahkan.Selain bahan organik tersebut, bahan kompleks seringkali ditambahkan, termasuk ekstrak ragi, casein hydrolysate, air kelapa, jus jeruk, jaringan pisang, dan lain – lain. Penambahan bahan kompleks ini menghasilkan media yang tak terdefinisi. Dengan penelitian yang cukup, semestinya bahan kompleks ini dapat diganti dengan zat tertentu, mungkin tambahan suatu vitamin atau asam amino.
Hara organikTanaman yang tumbuh dalam kondisi normal bersifat autotrof dan dapat mensintesa semua kebutuhan bahan organiknya. Meskipun tanaman in vitro dapat mensintesa senyawa ini, diperkirakan mereka tidak menghasilkan vitamin dalam jumlah yang cukup untuk pertumbuhan yang sehat dan satu atau lebih vitamin mesti ditambahkan ke media. Thiamin merupakan vitamin yang penting, selain itu asam nikotin, piridoksin dan inositol biasanya ditambahkan.Selain bahan organik tersebut, bahan kompleks seringkali ditambahkan, termasuk ekstrak ragi, casein hydrolysate, air kelapa, jus jeruk, jaringan pisang, dan lain – lain. Penambahan bahan kompleks ini menghasilkan media yang tak terdefinisi. Dengan penelitian yang cukup, semestinya bahan kompleks ini dapat diganti dengan zat tertentu, mungkin tambahan suatu vitamin atau asam amino.
Sumber karbon, Tanaman dalam kultur jaringan tumbuh
secara heterotrof dan karena mereka tidak cukup mensintesa kebutuhan karbonnya,
maka sukrosa harus ditambahkan ke dalam media. Sumber karbon ini menyediakan
energy bagi pertumbuhan tanaman dan juga sebagai bahan pembangun untuk
memproduksi molekul yang lebih besar yang diperlukan untuk tumbuh. Biasanya
sukrosa pada konsentrasi 1 – 5% digunakan sebagai sumber karbon tapi sumber
karbon lain seperti glukosa, maltosa, galaktosa dan laktosa juga digunakan.
Ketika sukrosa diautoklaf, terjadi hidrolisis untuk menghasilkan glukosa dan
fruktosa yang dapat digunakan lebih efisien oleh tanaman dalam kultur.
Agar, Umumnya jaringan dikulturkan pada
media padat yang dibuat seperti gel dengan menggunakan agar atau pengganti agar
sperti Gelrite atau Phytagel. Konsentrasi agar yang digunakan berkisar antara
0.7 – 1.0%. Pada konsentrasi tinggi agar menjadi sangat keras, sedikit sekali
air yang tersedia, sehingga difusi hara ke tanaman sangat buruk. Agar dengan
kualitas tinggi seperti Difco BiTek mahal harganya tapi lebih murni, tidak
mengandung bahan lain yang mungkin mengganggu pertumbuhan. Pengganti lain
seperti gelatin kadang – kadang digunakan pada lab komersial. Gel sintetis
diketahui dapat menyebabkan hyperhidration (vitrifikasi) yang merupakan problem
fisiologis yang terjadi pada kultur. Untuk mengatasi masalah ini, produk baru
bernaman Agargel telah diproduksi ole Sigma. Produk ini merupakan campuran agar
dan gel sintetis dan menawarkan kelebihan kedua produk sekaligus mengurangi
problem vitrifikasi. Produk ini dapat dibuat di lab dengan mencampurkan 1 g
Gelrite (Phytagel) dengan 4 g agar sebagai agen pengental untuk 1 L media.
pH, pH media biasanya diatur pada
kisaran 5.6 – 5.8 tapi tanaman yang berbeda mungkin memerlukan pH yang berbeda
untuk pertumbuhan optimum. Jika pH lebih tinggi dari 6.0, media mungkin menjadi
terlalu keras dan jika pH kurang dari 5.2, agar tidak dapat memadat.Zat
Pengatur Tumbuh Pada media umumnya ditambahkan zat pengatur tumbuh.
Zat pengatur tumbuh akan dibahas tersendiri pada minggu 13.Air,
Air distilata biasanya digunakan dalam kultur jaringan, dan banyak lab
menggunakan aquabides (air destilata ganda). Beberapa lab, dengan alasan
ekonomi, menggunakan air hujan, tapi ini menyebabkan sulit mengontrol kandungan
bahan organik dan non-organik pada media.Pemilihan Media, Jika
tidak ada informasi awal, biasanya mulai dengan media MS (Murashige dan Skoog
1962).
Media ini mengandung konsentrasi garam
dan nitrat yang lebih tinggi dibandingkan media lain, dan telah sukses
digunakan pada berbagai tanaman dikotil. Untuk inisiasi kalus, 2.4-D
ditambahkan ke media dengan konsentrasi 1 – 5 mgL-1. Untuk multiplikasi tunas,
sitokinin seperti BAP ditambahkan dan juga diberi auksin, seperti NAA pada
konsentrasi yang rendah. Untuk inisiasi akar, IBA pada konsentrasi 1 – 2 mgL-1
ditambahkan. Faktor yang paling sulit ditentukan dalam kultur jaringan adalah
zat pengatur tumbuh dan biasanya perlu melakukan penelitian kecil untuk
menentukan konsentrasi terbaik yang akan digunakan. Ada 2 pendekatan:
Pendekatan pertaman adalah dengan menggunakan media dasar MS dan meneliti
kisaran dua zat pengatur tumbuh yang berbeda.
2.4
Zat pengatur tumbuh (ZPT).
Hormon adalah bahan organik yang
disintesa pada jaringan tanaman. Hormon diperlukan dalam konsentrasi yang
rendah untuk mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Banyak molekul
sintetis organik yang telah dikenal memiliki aktivitas serupa hormon. Senyawa
sintetis dan hormon yang secara alami ada, dikenal dengan sebutan zat pengatur
tumbuh. Kultur jaringan merupakan manipulasi pertumbuhan tanaman dalam kondisi
yang terkontrol dengan baik dan auksin serta sitokinin berperan penting dalam
manipulasi ini. Kebanyakan eksplan menghasilkan sejumlah (endogenus) auksin dan
sitokinin. Dalam kultur jaringan, tambahan (exogenous) zat pengatur tumbuh diberikan
untuk memperoleh efek pertumbuhan. Sebagai panduan umum, auksin atau sitokinin
atau keduanya ditambahkan ke dalam kultur untuk memperoleh respon pertumbuhan.
Beberapa aspek praktis penggunaan zat
pengatur tumbuh, Zat pengatur tumbuh (ZPT) yang digunakan pada media disimpan
dalam gelap pada refrigerator sebagai larutan stok. Sedikit volume (misalnya 50
mL) larutan stok mengandung 1 mg mL-1 ZPT dapat disimpan untuk beberapa lama.
Kestabilan zpt bervariasi: kinetin dan IAA tidak stabil pada kondisi cahaya,
sehingga biasanya disimpan pada botol berwarna gelap. Juga, IAA kehilangan
aktivitasnya pada larutan aqueous sehingga larutan stok IAA sebaiknya tidak
disimpan dalam jangka waktu yang lama. De Fossard (1976) memberi detail yang
sangat berguna untuk persiapan larutan stok. Secara umum, auksin harus
dilarutkan dulu pada sedikit alcohol (95%) sebelum volume sebenarnya dibuat
dengan penambahan air. Sitokinin harus dilarutkan terlebih dahulu pada sedikit
larutan 1 N asam hydrochloric dan lalu ditambahkan air sampai volume
sebenarnya.
ZPT diperlukan dalam konsentrasi rendah utk
mempengaruhi pertumbuhan tan Stok ZPT harus disimpan dalam gelap, Auksin harus
dilarutkan dlm 95% alkohol (sedikit saja), baru dicampur air, Sitokinin
dilarutkan dlm sedikit 1N HCl , Auksin atau sitokinin bisa juga dilarutkan dlm
1N NaOH, Auksin, IAA – auksin alami, IBA, NAA, 2,4-D – auksin sintetik,
Konsentrasi 0.01 – 10 mg/L, Auksin sintetik relatif lebih aktif. Juga lebih
stabil karena tidak didegradasi oleh enzym dalam tanaman , Peran : pembelahan
sel, pembentukan kalus, pertumbuhan dan pemanjangan sel, pembentukan akar
adventif. Menghambat pembtkan tunas aksilar. Sitokinin, alami : 2iP, zeatin
,Sintetik : BAP, Kinetin, Pengaruh : memacu pembtkan tunas aksilar dan tunas
adventif, memacu pembelahan sel, Tahan panas, sehingga bisa ditambahkan sebelum
diautoklaf.
Gibberelic Acid, Grup ini memiliki 60 jenis,
tapi GA3 yg paling umum terdapat pada tumbuhan, Tidak tahan panas, jadi tidak
bisa diautoklaf. Penambahan dengan milipore filtration (sterilisasi filter),
Peran : perkecambahan benih, memacu pemanjangan ruas, memacu pembentukan embrio
dari kalus, Merupakan zat penghambat tumbuh, Jarang digunakan dlm kuljar,
Aplikasi khusus untuk memacu pembentukan embrio dari kalus. Ethylene, ethylene
diproduksi sebagai respon terhadap kondisi kelebihan air, kondisi yg mirip dg
kultur in vitro. Pada konsentrasi yg
tinggi, ethylene menyebabkan vitrifikasi (tanaman terlihat transparan). Adenine
Sering ditambahkan pd media untuk merangsang pertumbuhan tunas.
BAB III
BAHAN DAN METODA
3.1 Waktu dan Tempat Pratikum
Pratikum ini dilakukan setiap hari Sabtu
jam 08 :00 wib dilaboratorium Kultur
Jaringan Fakultas Pertanian Universitas
Andalas.
3.2 Alat dan Bahan Pratikum
Alat yang digunakan selama pratikum
adalah Autoclab, Kompor gas, Petridish, Botol, Tisue, Laminar air flow, Lampu
bunsen, Pinset, Gunting, isolatip, warping, kertas pengukur PH, Timbangan,
Magnetik stirel, Catatan dan Alat tulis,. Dan bahan yang di gunakan adalah
larutan stok a, stok b, stok c, vitamin, pupuk cair, sukrosa, agar-agar,
aquades, tanaman Kentang.
3.3 Cara Kerja
Pada minggu pertama pratikum yang
dilakukan adalah pengenalan alat dan bahan pratikum dan ruangan-ruangan
pratikum beserta fungsinya. Satu persatu alat dan bahan dicatat, kemudian keliling melihat ruangan
pratikum satu persatu dan dicatat fungsi ruangan masing-masing. Pada minggu kedua, pratikum yang
dilakukan adalah sterilisasi alat dan bahan. Petama melakukan autoclab kotor
pada botol kultur yang akan digunakan nantinya, lalu botol-botol tadi dicuci
bersih, kemudian direndam didalam bayclean selama semalam kemudian dilakukan
kembali autoclab bersih pada botol kultur tadi.
Pada minggu ketiga, pratikum yang
dilakukan adalah melakukan pembuatan media tanam. Pertama yang dilakukan adalah
mencampurkan larutan-larutan stok, mulai dari stok a, stok b dan stok c .
Kemudian masukkan sukrosa (gula) dengan ukuran 7,5 gram karena media yang akan
dibuat hanya 250 ml. Kemudian yang dilakukan adalah mengaduknya hingga tercampur
homogen menggunakan magnetik stirel. Setelah itu diukur Phnya menggunakan
kertas pengukur PH. Setelah diukur PH nya kemudian masukkan agar, masak dan
aduk-aduk sampai media mendidih, kemudian masukkan media tadi kedalam botol
kira-kira 25 ml. Terakhir lakukan inkubasi selama seminggu sebelum penanaman.
Pada minggu keempat, Pada minggu
keempat ini yang dilakukan adalah penanaman eksplan kedaalam botol. Pertama
tangan disemprot dengan alkohol, lalu alat-alat yang ada didalam laminar air
flow juga disemprot dengan alkohol. Kemudian lakukan pembakaran ujung botol
yang telah berisi media dengan menggunakan lampu bunsen untuk selanjutnya
dibuka slotipnya lalu dilap menggunakan tisue. Siapkan ekplan, ambil eksplant
menggunakan pinset tapi sebelumnya pinset harus dibakar diatas lampu bunsen
agar mikroorganisme yang ada disana mati. Masukkan eksplan tadi kedalam botol
yang telah berisi media. Eksplan dimasukkan dengan posisi tegak agar
pertumbuhan akar dan tunasnya baik. Lalu lakukan penutupan pada botol dengan menggunakan
selotip. Terakhir untuk memastikan botol tertutup dengan benar-benar rapat,
lakukan penutupan kembali menggunakan warping. Tanaman siap untuk dipindahkan
keruang inkubasi.
Pada minggu kelima, pratikum yang
dilakukan pada mingu kelima hanya berupa pengamatan terhadap tanaman kultur.
Tanaman kultur yang terkontaminasi dipisahkan dan dikeluarkan dari ruang
inkubasi. Terakhir lakukan dokumentasi untuk laporan akhir pratikum. Pada minggu keenam, pratikum yang
dilakukan pada minggu keenam tidak jauh berbeda dengan minggu kelima. Pada
pratikum kali ini yang hanya lah pengamataan dan pemisahan tanaman yang
terkontaminasi. Begitu seterusnya pada minggu selanjutnya.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil
Adapun
hasil yang di dapatkan pada tanaman lansek selama praktikum adalah sebagai
berikut :
4.2
Pembahasan
Dari
praktikum kultur jaringan pada tanaman lansek yang telah dilakukan didapatkan
hasil yang terkontaminasi tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh bahan yang
kurang steril, media, dan juga pakaian
yang digunakan seperti jas lab yang kotor, dan pada saat melakukan penanaman di
laminar air flow seharusnya di dalam ruangan tersebut yang diperbolehkan hanya
tiga orang, tapi pada saat penanaman biji lansek tersebut di dalam ruangan
lebih dari tiga orang sehingga kemungkinan besar media nya terkontaminasi karena
mereka banyak melakukan aktivitas dalam ruangan di saat saya melakukan
penanaman lansek.
Selain
dari faktor faktor tersebut bisa juga media terkontaminasi setelah penanaman
selesai seperti penutup botol media yang kurang rapat sehingga pada saat memindahkan
media dari laminar air flow ke ruang pendingin terjadi kontak langsung dengan
udara sehingga meyebabkan tanaman terkontaminasi, atau pada saat pemeriksaan
rutin yang dilakukan untuk mengamati pertumbuhan bahan tanam tersebut sehingga
ketika mengamati media tersebut kita lupa menyemprot media dengan alkohol
setelah di pegang sehingga menyebabkan kontaminasi.
Pada
ulangan penanaman kedua tanamannya dapat tumbuh dengan baik hal ini dikarenakan
penanaman dilakukan dengan hati hati seperti media yang sudah steril dan pada
saat penanaman media jumlah orang yang
terdapat dalam ruangan sedikit sehingga tidak ada gangguan pada saat penanaman
biji lansek tersebut, terjadinya kegagalan pada tahap pertama karena kurangnya
kehati hatian pada saat melakukan praktikum.
BAB
V
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Dari
praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan
praktikum kultur jaringan diperlukan kehati hatian yang serius, jika tidak maka
media tanam akan terkontaminasi sehingga praktikan dituntut lebih kreatif dalam
menanam eksplan karena ini menjadi faktor penentu keberhasilan kultur jaringan.
5.2
Saran
Pada
saat melakukan praktikum kultur jaringan diharapkan kepada praktikan agar lebih berhati hati dalam bekerja supaya tidak
terjadi kontaminasi pada media yang akan di tanam, dan ketika bekerja di
laminar air flow jangan terlalu banyak tindakan yang lain lain diluar kegiatan
penanaman karena hal tersebut dapat memacu terkontaminannya bahan kultur
jaringan.
DAFTAR
PUSTAKA
Hendaryono, D.P.S. dan A. Wijayani.
1994. Teknik kultur jaringan. Kanisius.
Yogyakarta. pp.139.
Nugroho, A. dan H. Sugito. 2005. Teknik
kultur jaringan. Penebar Swadaya. Jakarta. pp.71.
Suparwoto dan
Yanter Hutapea. 2005. Keragaman buah duku dan pemasarannya di Sumatera
Selatan, Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 8(3)
Verheij, E.W.M.
dan R.E. Coronel (eds.). 1997. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 2:
Buah-buahan yang dapat dimakan. PROSEA – Gramedia. Jakarta.
http://www.id.wikipedia.org, Diakses pada tanggal 29 november 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar